Senin, 06 Mei 2013

Menanti Penerapan ”Kebijakan Setengah Gila”

PEMERINTAH hampir pasti memberlakukan 2 harga BBM bersubsidi. Harga premium misalnya, Rp 4.500 per liter untuk angkutan umum dan sepeda motor. Dan Rp 6.500 per liter untuk mobil pribadi dan kendaraan dinas pemerintah. Berbagai persiapan terus dilakukan Pertamina, antara lain, sosialisasi, pengelompokan SPBU, penyiapan identitas SPBU, dan melakukan koordinasi dengan stakeholder terkait.

Pertamina memang harus kerja ekstra. Sebab, penerapan kebijakan 2 harga pada BBM bersubsidi baru pertama kali di negeri ini. Pertamina memang bertanggungjawab terhadap kelancaran distribusi dan ketersediaan stok.

Oleh sebab itu, perlu menyiapkan berbagai instrumen untuk kelancaran pelayanan sekaligus mencegah terjadinya kebocoran. Kita sama tahu bahwa disparitas harga pada komoditi (produk) yang sama selalu rawan kebocoran dan penyelewengan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ada oknum tertentu yang sudah mulai merancang dan mempelajari kelemahan sistem dan mekanisme untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok.

Sejauh ini memang rencana pemerintah menaikkan harga BBM masih terjadi pro kontra. Namun, rupanya pemerintah sudah bulat dengan kebijakan menaikkan harga BBM walaupun hanya untuk mobil pribadi dan kendaraan dinas pemerintah. Makanya jadilah BBM bersubsidi dengan 2 harga. Bahkan, kebijakan ini hampir pasti diterapkan bulan Mei tahun ini, karena melihat berbagai persiapan yang dilakukan Pertamina saat ini.

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa pemerintah menerapkan kebijakan BBM yang setengah-setengah alias setengah gila? Mengapa saya nilai kebijakan setengah gila: Pertama, dengan penerapan 2 harga BBM bersubsidi hanya menambah pekerjaan yang seharusnya tidak perlu. Misalnya, mengatur mekanisme yang sangat ribet dan menyiapkan berbagai sarana dan prasarana yang memakan biaya besar. Kedua, memberikan peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk berbuat curang karena adanya disparitas harga yang sangat besar.

Ketiga, inilah yang paling mendasar saya nilai setengah gila, mungkin juga sudah gila. Upaya pemerintah untuk menekan penggunaan BBM bersubsidi selama ini gencar dilakukan. Bahkan, Pertamina telah menempelkan stiker dan baliho untuk mengingatkan masyarakat untuk menggunakan Pertamax. Upaya ini mulai mendapat respon masyarakat terutama orang-orang kaya. Bahkan, sejumlah kepala daerah telah menginstruksikan jajarannya terutama mobil pemerintah untuk menggunakan premium non subsidi alias Pertamax. Dengan kebijakan ini, sama halnya pemerintah mengajak pemlik kendaraan pribadi yang sudah menggunakan Pertamax kembali ke Premium (yang notabene masih bersubsidi). Apakah mungkin saya terlalu bodoh sehingga saya berpikir pemerintah tidak tega kalau orang kaya tidak diberikan subsidi. Lantas? Apa maksud pemerintah memberi peluang kepada orang kaya yang sudah sadar menggunakan Pertamax ‘kembali’ ke premium.

Kalau pemerintah memang benar-benar mengurangi beban subsidi BBM, sebetulnya yang dilakukan fokus mencari terobosan untuk mengarahkan dan mengatur kendaraan pribadi untuk menggunakan pertamax. Nilai politisnya jauh lebih kecil dibanding mengutak-atik harga BBM bersubsidi, bahkan dari sisi mengurangi beban BBM bersubsidi jauh lebih efektif karena tidak ada lagi subsidi untuk orang kaya. Juga mekanisme lebih sederhana mengatur dibanding 2 harga dalam produk yang sama. Juga biaya persiapan penerapan jauh lebih kecil dibanding menyiapkan SPBU yang sama-sama bersubsidi.

Selain memberikan pemahaman pada orang kaya, yang tak kalah pentingnya adalah menghitung dengan cermat penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan angkutan umum. Sehingga kendaraan umum tidak semaunya ‘mengisap’ BBM bersubsidi di SPBU. Hal ini juga dilakukan untuk mencegah terjadi bisnis ilegal BBM bersubsidi.

Saya yakin orang-orang kaya bisa menerima dengan lapang dada kebijakan pemerintah mencabut total subsidi BBM yang akan digunakannya. Dengan catatan, pemerintah lebih transparan dan bertanggung jawab dalam pengelolaan anggaran. Artinya, pencabutan subsidi itu benar-benar digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Bukan karena menutupi defisit anggaran dan kebocoran yang diakibatkan oleh kerakusan para pemimpin, baik eksekutif maupun legislatif yang sama-sama korup dan mengihisap uang rakyat.

Yang juga menjadi cacatan penting bagi pemerintah (apakah BBM bersubsidi atau non subsidi) jangan sampai terjadi kekosongan pasokan di SPBU. Sebab, akibatnya sangat parah. Bahkan, lebih parah dari kebijakan pemerintah (kalau berani) mencabut total subsidi BBM bagi mobil pribadi dan kendaraan dinas pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar