Minggu, 27 Januari 2013

Dibekingi Aparat, Terminal Liar Langgeng

Keberadaan  Terminal Regional Daya (TRD) yang mati fungsi, lebih disebabkan oleh tumbuh suburnya terminal liar. Benarkah silang sengkarut ini tak berujung pangkal karena terminal liar dibekingi aparat?

"Setahu kami begitu, memang ada aparat yang bekingi. Nda usahlah kita bilang aparatnya dari mana. Yang jelas, polisi saja tidak berdaya. Berarti bekingnya kuat kan?" tutur SR, sopir angkutan daerah plat kuning yang mangkal di TRD.

SR turut mengeluhkan kian suburnya dua titik terminal liar di Jalan Perintis Kemerdekaan. Setidaknya, kehadiran terminal ilegal ini telah mematikan sopir-sopir legal yang berpangkalan di TRD.
"Pendapatan kami turun drastis. Tidak bisaki juga apa-apa. Mereka yang mangkal di terminal liar itu, tidak ada yang berani tertibkan. Polisi saja takut," ucap SR.

SR sendiri memilih tetap berpangkalan di TRD, meski dengan pendapatan yang kian menukik. SR bukanlah satu-satunya sopir yang tetap kukuh bertahan di TRD.
Segelintir lainnya juga memilih berada di sana karena enggan main kucing-kucingan dengan aparat. Apalagi, di terminal liar sebenarnya pungutan jauh lebih mencekik ketimbang di TRD.
"TRD ini sebenarnya bagus, cuma pengelolaannya yang tidak profesional. Kalau dikelola baik, saya yakin bisa bagus," kata SR.

Di TRD, pungutan relatif lebih jelas dan ringan. Berbeda dengan terminal liar di kilometer 14, depan Kompleks AURI, banyak dikeluhkan para sopir.
"Bayangkan, uang parkirnya saja per mobil itu Rp 10 ribu. Ini belum termasuk hitungan penumpang per kepala Rp 5 ribu. Jadi ada atau tidak ada penumpang, tetap harus bayar parkir Rp 5 ribu," paparnya.
Dalam sehari, tak kurang dari 70 sampai 80 mobil berpangkalan di terminal liar. Seluruh pendapatan di pangkalan ilegal ini, tidak sesenpun memberi kontribusi untuk pendapatan daerah.
Semuanya masuk ke kas "pengelola".

Lantas siapa pengelolanya? "Ya itu tadi. Macam-macam. Pokoknya, ada tommi aparat di situ. Karena tidak mungkin bisa bertahan kalau tidak ada aparat yang pegang. Di situ kan uang besar," tuturnya.
Benarkah ada keterlibatan oknum anggota TNI sebagai beking? SR tak berani membenarkan.
"Saya nda berani bilang. Tapi semua orang juga sudah tahu, siapa-siapa disitu. Saya bilang tadi, polisi saja takut. Kalau polisi sudah takut, berarti di atasnya polisi itu," ucap SR tersenyum penuh arti.
Indikasi keterlibatan aparat TNI dalam membekingi terminal liar, telah menjadi rahasia umum di kalangan pengelola TRD. Hanya saja, selama ini pihak TRD memilih bungkam.

Mereka berdalih, TRD tidak punya wewenang untuk melakukan penertiban sampai di luar area terminal. Terminal liar adalah wewenang dishub dan satlantas.
Karena itu pada tahun 2009, pengelola melibatkan aparat satlantas, pihak POM AURI dan dinas perhubungan untuk memediasi persoalan ini. Hasilnya, terminal liar ditertibkan dan disepakati tidak ada lagi pangkalan angkutan daerah di luar TRD.

Seluruh aktivitas pengangkutan AKAP maupun AKDP dipusatkan ke TRD.
POM AURI kemudian mengeluarkan semacam ultimatum akan menindak tegas anggota AURI yang diduga terlibat membekingi terminal liar. Mediasi gabungan tiga institusi ini berjalan efektif.
Tetapi itu hanya bertahan dua pekan. Setelah itu, angkutan daerah kembali meninggalkan TRD dan memilih berpangkalan di terminal liar.
Setahun kemudian, penertiban kembali dilakukan. Seperti semula, efektivitasnya hanya tampak dalam dua sampai tiga pekan. Setelah itu, terminal liar kembali dijejaki angkutan-angkutan daerah.
Setelah hampir tiga tahun tak ada penertiban, terminal liar di Kilometer 14 sudah seperti layaknya terminal legal. Setiap hari, pangkalan di tepi jalan itu dipenuhi kendaraan dari seluruh rute daerah.
Anehnya, posko satlantas yang ada di tempat itu tidak bisa berbuat apa-apa. Polisi hanya duduk dan membiarkan terminal ini tumbuh subur.

Mobil plat hitam (gantung) dengan bebas menaikkan dan menurunkan penumpang, tanpa ada larangan parkir. Sepanjang jalan, penumpang juga berjejal.
Wajar jika kemudian, mobil angkutan daerah di TRD meradang. Karena rupanya, polisi lalu lintas pun tak berdaya menghadapi terminal liar.

Sebenarnya, kisruh ini tidak sepenuhnya berpangkal pada terminal liar. Sedikit banyak, pengelolaan TRD yang awut-awutan juga menjadi penyebab mobil-mobil angkutan daerah menolak masuk TRD.
TRD yang dulunya diharapkan menjadi terminal berstandar regional, rupanya tidak bisa menerapkan pola pengelolaan yang mengedepankan pelayanan. Fasilitas terminal juga dinilai sangat tertinggal.
Belum lagi, PO-PO yang membandel bertahun-tahun, menolak masuk TRD, memancing angkutan lainnya untuk keluar dan berpangkalan di terminal liar.

Apalagi, setelah maraknya mobil plat gantung, persaingan kian bebas. Di terminal liar, mobil plat gantung juga diberi ruang untuk berpangkalan seperti layaknya mobil-mobil plat kuning.
"Plat gantung ini dulu diprotes, tapi sekarang bebasmi. Tidak adami protes," ucap Cikal, sopir daerah plat kuning.

Mengapa tak ada protes? "Bagaimana mau diprotes, plat gantung itu rata-rata yang punya polisi. Ada juga sebagian punya tentara. Protesmi itu," tukasnya.
DPRD Makassar menuding pengelola TRD telah gagal. Bukan saja gagal mengatasi persoalan PO, tetapi juga tidak mampu memperbaiki manajemen pelayanannya secara internal sehingga angkutan daerah memilih berpangkalan di luar.

Anggota Komisi D Bidang Kesejahteraan Rakyat, Rahman, kepada BKM Jumat (25/1) mengatakan, selama bertahun-tahun pemkot tidak mampu menyelesaikan persoalan terminal. Inti persoalannya adalah, koordinasi yang lemah antarinstansi dan tidak adanya langkah tegas terhadap para pengusaha angkutan yang membangkang.
"Masalah PO sudah bertahun-tahun tidak teratasi. Untuk itu PD TRD kami nilai gagal dalam melakukan pengawasan dan penindakan. Jika persolan ini berlarut-larut maka PAD dari sektor PD Terminal akan terus merugi dan tidak bisa ditarget naik," tegas legilsator PBB yang berasal dari daerah pemilihan V itu.
Hal senada juga dikemukakan anggota Komisi B Bidang Ekonomi Lukman Basrah. Menurutnya persolan PO sangat berdampak pada PAD Kota Makassar dari sektor TRD. Aturan terkait bongkar muat penumpang di terminal daya sudah menjadi ketentuan dalam Surat Walikota (SK) yang ada.

Hanya saja sejuh ini SK tersebut masih lemah dari segi penegakan sanksi. Akibatnya muncullah terminal liar, plat gantung dan angkutan daerah semakin bebas menaikkan dan menurunkan penumpang di luar TRD.
"Ini kerugian luar biasa. Berapa banyak pundi-pundi kita yang hilang hanya karena pengelola TRD yang tidak becus," tandas Lukman.

Lukman mengaku heran, mengapa terminal liar dan plat gantung tidak bisa ditertibkan. Padahal, payung hukumnya sudah jelas.
Lagi pula, semua sudah merasakan dampak dari pembiaran. Pendapatan TRD menurun, mobil plat hitam bebas mengambil penumpang.

"Dan yang paling parah, mobil plat kuning malah sekarang mulai tersingkir. Kasihan para sopir. Kenapa plat gantung ini dibiarkan. Seharusnya ada upaya tegas dari pemerintah kota," katanya.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, Lukman ragu, TRD akan bertahan lebih lama lagi.
Pada puncaknya nanti kata dia, TRD akan mati dan hanya tinggal menjadi bangunan-bangunan tua tak berpenghuni.

"Angkutan daerah juga akan mati. Yang jadi raja jalanan plat gantung. Mereka bebas ke kota siang malam. Menjemput dan mengantar penumpang. Akhirnya apa? Makassar makin macet," kuncinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar